AGUSTUSAN DENGAN DERITA TKI/TKW
AGUSTUSAN DENGAN DERITA TKI/TKW
Oleh temanku : Moch. Faried Cahyono
Tulisan selesai ditulis : Mon, 20 Aug 2007
Untuk beritajatim.com (tidak dimuat)
Setiap bulan Agustus media massa Indonesia selalu menyajikan berita heboh mengenai TKI/TKW korban kekerasan di Malaysia. Mengapa kejadian tragis atas warga kita itu terjadi di bulan Agustus dimana seharusnya orang punya waktu sejenak bersenang-senang dengan acara agustusan? Itu karena pada bulan itulah ritual penertiban atas migrant workers asal Indonesia di Malaysia dilakukan. Pemerintah Malaysia menunjukkan diri sebagai pemerintah yang tertib dalam mengelola pekerja asing. Harap maklum, yang datang ke Malaysia tidak hanya pekerja yang baik-baik saja, tapi ada juga rombongan criminal pencopet dan perampok atau tukang kelahi. Pihak oposisi Malaysia biasanya menyuarakan pentingnya penertiban itu dari kacamata politik yang berbeda. Tapi, sesungguhnya, jika penertiban atas migrant workers illegal di Malaysia, terutama TKI/TKW, maka ekonomi Malaysia sedikit banyak terpengaruh. Jika ditertibkan dan harus dipulangkan karena tak berijin, maka yang terkena imbas adalah industri-industri Malaysia (elektronika dan konstruksi). Industri perkebunan karet dan kelapa sawit akan langsung macet, karena para pekerjanya penderes dan pemetiknya, berasal dari Indonesia. Maka kong kalikong, tahu sama tahu dilakukan pada bulan Agustus. Pemerintah Malaysi akan melakukan penertiban secara terbatas, sementara para pelaku bisnis akan menyesuaikan diri.
Ada begitu banyak migrant workers di Malaysia, yang penduduknya hanya seperlima penduduk Indonesia. Terbanyak tentu dari Indonesia, sekitar 1 juta orang. Sebagian besar, mungkin ilegal. Data tentang tepatnya berapa orang Indonesia yang bekerja di Malaysia, berbeda antar instansi Malaysia dan Indonesia. Dari berbagai jenis TKI/TKW di Malaysia itu, yang mendapat sorotan tajam dalah TKI/TKW yang menjadi korban kekerasan, terutama kekerasan seksual. Tak hanya media di Indonesia yang menyorot, media Malaysia yang rata-rata konservatif, takut bredel, itupun akan memberitakan dengan tajam soal ini. Media menganggap, korban seksual adalah sama dengan korban perbudakan seksual. Perbudakan manusia adalah bentuk pelanggaran HAM paling kuno, yang harus diatasi.
Saya sendiri pernah melakukan investigasi soal ini ketika mendapat kesempatan ke Malaysia pada Mei 2003. Atas kebaikan hati seorang pejabat Kedubes RI Kualalumpur, saya dipertemukan dengan 5 orang Tenaga Kerja Wanita (TKW) korban perbudakan seksual di kantor Kedubes RI Kualalumpur. Peristiwa pada Mei 2003 itu masih saya ingat sampai sekarang, dan sangat menyedihkan melihat bahwa situasi kini tak banyak berbeda dengan saat ini. Yang saya temui waktu itu adalah para perempuan muda, wajahnya rata-rata menarik untuk ukuran desa atau kampung, tapi kusut penuh duka. Trauma belum hilang dan mereka merasa menjadi manusia sehina-hinanya.
Wawancara dengan mereka tidak mudah pada awalnya. Tapi, kemudian dengan lancar mereka bercerita nasib pilu yang dialami. Mereka datang dari berbagai wilayah pelosok Indonesia. Mendaftarkan diri lewat PJTKI di dekat tempat masing-masing. Iming-iming menjadi penyanyi, penjaga restoran dan sejenisnya dengan gaji 4 kali lipat yang didapat di tempatnya sendiri, amat menggiurkan. Lalu begitulah, dengan menjual apa saja barang milik yang bisa digunakan untuk biaya, mereka berangkat ke Jakarta. Dari Jakarta, mereka terbang ke Kalbar menyeberangi perbatasan masuk ke Malaysia. Kecurigaan mulai muncul ketika mereka mulai diajak main kucing-kucingan dengan petugas, baik saat di perbatasan Indonesia, maupun ketika masuk ke Malaysia. Mereka kemudian diangkut lagi dengan pesawat ke Kuala Lumpur dengan pesawat. Berbeda dengan TKI/TKW yang lain yang diangkut berombongan, mereka dibawa oleh mobik pribadi atau taxi penjemput ke pusat kota. Mereka diminta diam sampai tempat tujuan. Dan baru mereka tahu bahwa mereka dipekerjakan sebagai budak seksual sesampai di daerah hiburan Kualalumpur.
Seorang korban mengaku, berapapun lelaki hidung belang yang datang, harus dilayani, siang malam. Ini harus mereka terima karena harga mereka tinggi, dan kalau ingin pulang ke Indonesia membawa uang, mereka harus lebih giat bekerja. Korban ini mengaku hanya diberi waktu istirahat dari tamu, jika datang bulan tiba. Bahkan ada seorang korban yang mengaku disekap di hotel saja, bahkan sinar matahari terbuka pun tak sempat dilihatnya. Dia berhasil lolos sampai Kedubes RI sesudah ditolong oleh seorang klien yang kasihan padanya. Seorang yang lain mengaku disekap di sebuah kondominium Kuala Lumpur. Korban ini mengaku sering dihajar dan diancam bunuh oleh penjaga yang kejam. Dia berhasil lolos dengan melompat dari lantai 3 kondominium, tetap hidup hanya karena ketika jatuh, tubuhnya tertahan bagian bangunan di bawahnya. Kemudian dengan nekat dia lari ke jalan raya, dan ditolong seorang sopir taxi Kualalumpur yang lantas membawnya ke Kedubes RI di Malaysia. Kasus-kasus seperti ini masih dialami sebagian TKI/TKW kita di Malaysia, dan pengembalian serta pemulihan dari trauma, menjadi pekerjaan tambahan para petugas di Kedubes RI Kualalumpur.
Tentu saja, tidak semua TKI/TKW mengalami nasib buruk sebagaimana di atas. Dari 1 juta TKI/TKW itu ada sebagian kecil TKI/TKW yang terhormat statusnya. Kesulitan ekonomi yang dialami RI dan tidak juga selesai tenaga terdidik dan ahli memilih bekerja di Malaysia. Para insinyur perminyaan, ahli tata kota, juga para pilot adalah diantaranya. Mereka memiliki arena perkumpulan semacam arisan di setiap bulan. Pengajian-pengajian diadakan di arena pertemuan itu. Buruknya ekonomi Indonesia juga memancing banyak warga terpelajar Indonesia memilih tinggal dan jadi warga Malaysiua. Sahidul Amin, seorang dosen di salah satu Universitas Islam Negeri yang sempat mengambil S-3 di Universtitas Malaya menceritakan, adanya kecenderungan besar para pelajar Indonesia di Malaysia setelah lulus, ingin tetap tinggal di Malaysia dan menjadi warga Negara Malaysia, karena ingin sejahtera. Mereka akan bergabung dengan para pilot, insinyur dan pekerja professional kerah putih lain, mengisi lapangan pekerjaan yang disediakan oleh Petronas, dan perusahaan Negara maupun swasta besar Malaysia. Mereka disukai karena selain ahli dan pekerja keras, juga karena biasanya gaji yang mereka tuntut lebih rendah dibanding warga asli Malaysia. Karena Malaysia adalah negeri kaum pendatang, maka para penguasanya pun sering memiliki ikatan romantisme dengan daerah asal. Mereka mengingat asal-usul kakek atau neneknya yang berasal dari Indonesia. Maka ketika menjadi pejabat pun, mereka mengutamakan para TKI/TKW yang berasal dari Indonesia. Romantisme yang sama juga dimiliki oleh para pejabat dan anggota legislative yang berasal dari etnis Cina dan India. Mereka juga menginginkan para migrant workers yang berasal atau dekat dengan etnis mereka. Persaingan terselubung dalam memperjuangkan jatah migrant workers asal etnis ini terjadi antar pejabat tiga etnis itu. Soal ini sering tidak dipahami oleh media dan pejabat kita, yang mempertanyakan kepada pemerintah Malaysia, jika terjadi pengusiran TKI/TKW ilegal.
Pembangunan ekonomi yang gegap gempita dan berhasil di Malaysia juga menyediakan begitu banyak lapangan pekerjaan di tempat-tempat yang yang tidak disukai warga asli Malaysia. Peluang kerja menjadi pembantu rumah tangga, tukang kebun, cleaning service, kuli bangunan, penjaga keamanan dan pekerjaan lain yang kotor, kasar dan berbahaya, ditawarkan kepada para TKI dan para migrant workers dari berbagai belahan dunia. Peluang lain yang menyebabkan Malaysia mendapat cap buruk adalah peluang kerja di dunia hiburan, dimana dibutuhkan begitu banyak, maaf, pelacur, untuk bekerja di industri hiburan Malaysia. Contoh-contoh yang disampaikan di tas adalah yang dipaksa menjadi budak seksual. Di kancah internasional, kini Malaysia mendapat cap buruk sebagai tempat tampungan human trafficking. Terhadap tuduhan ini, pemerintah Malaysia tak dapat menolak, dan ironisnya asal manusianya, sebagian besar dari Indonesia.
Atas banyaknya migrant workers yang berasal dari Indonesia itu, ada pendapat yang berbeda-beda. Seorang imam masjid besar di Selangor mengatakan, masjidnya ramai karena ada pengajian dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para TKI. Menurut pak Imam ini, kaum muda Malaysia yang mendapat subsidi berlebih dari pemerintah, kini menjadi warga yang malas. Apa-apa dilakukan orang Indonesia. Dan itu mengkhawatirkan hati para orangtua seperti imam besar masjid ini. Selain itu, di kalangan aktivis maupun seniman Malaysia, Indonesia tetap lah panutan. Aktivis dan seniman Malaysia kagum pada para aktivis Indonesia yang begitu berani menentang Suharto, menjatuhkan rejim otoriter dan membangun demokrasi. Mereka juga kagum akan begitu kayanya tradisi berkesenian di Indonesia. Fathi Anis Omar, salah seorang aktivis yang juga mantan wartawan, mengagumi karya-karya intelektual Indonesia. Namun, dia juga menyatakan keherannya bagaimana bangsa Indonesia yang demikian kaya dengan pemikiran, tidak mampu membawa kesejahteraan pada rakyatnya. Buktinya, mereka harus bekerja mencari makan di Malaysia. Ini mengherankan, katanya.
Selain soal positif yang dilakukan para pekerja kita, citra negative juga terjadi. Warga Malaysia kini menganggap warga Indonesia berkelas lebih rendah, karena selain Malaysia lebih makmur dan jadi tujuan belajar (sesuatu yang berkebalikan dibanding masa awal kemerdekaan hingga 1980 awal), rombongan manusia yang datang juga disertai dengan tindak kriminalitas yang tinggi. Perkelahian antar subetnis dari Indonesia juga terjadi di Malaysia antar TKI (legal maupun illegal).
Warga Melayu Malaysia merasa mereka menjaga nilai-nilai Islam dengan ketat. Mereka tidak suka melihat cukup banyak gadis-gadis TKW Indonesia mencari tambahan dengan menjajakan diri dekat lokasi asrama industri yang mempekerjakan TKI/TKW. Istilah ‘Indon’ untuk sebagai sebutan TKI/TKW, sebetulnya merupakan istilah hinaan atau pengkastaan yang lebih rendah dibanding Melayu. Karya-karya hebat orang Indonesia di negeri Malaysia, tidak akan begitu dikenang, kalah dengan citra buruk TKI/TKW yang menyebar atau disebarkan dengan sengaja atau tidak, dan citra ‘Indon’ sebagai kasta rendah manusia di Malaysia.
Lalu, apakah yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan? Seorang pejabat di Kedubes RI di Malaysia mengatakan, bahwa persoalan TKI/TKW, tidak cukup ditangani oleh pejabat setingkat Kedubes saja. Pembicaraan mengenai bagaimana TKI harus dimulaikan sebagai penghasil devisa dan bagaimana perlindungan untuk memuliakannya, harus dilakukan oleh instansi terkait di tingkat para menteri. Repotnya, seringkali rapat untuk ini tidak bisa dilakukan dengan baik, karena para wakil departemen dan instasi terkait, tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan.
Padahal, bagaimana TKI diberangkatkan dan harus terseleksi terdidik dengan baik, bagaimana mereka terdata dan terawasi serta terlindungi ketika bekerja di Malaysia. Demikian juga ketika pulang, mereka tidak dipalaki di negeri sendiri, sejak kedatangan di bandara, membutuhkan perencanaan kebijakan yang kokoh. Kata pejabat ini, Malaysia menyimpan peluang kerja yang banyak, tapi akan selalu ada ekses negative yang berlebih, jika perencanaan di tingkat pusat tidak dilakukan dengan baik.
Di lapangan, akan selalu ada korban yang membutuhkan advokasi hukum. Seorang kawan advokad di Malaysia menyarankan agar lembaga bantuan hukum dari Indonesia harus lebih banyak yang turun melayani korban. Advokasi yang tidak terencana dengan baik juga akan menyebabkan para korban hanya terberitakan, namun tidak terlindungi dengan baik.
Namun, di luar yang sudah disampaikan di atas, tantangan terbesar yang harus dijawab pemerintah Indonesia adalah, bagaimana agar di wilayah sendiri tersedia lapangan pekerjaan yang cukup. Perencanaan pembangunan yang berorientasi tidak hanya pada kepentingan pasar, mestilah dilakukan, sehingga orang Indonesia tidak harus menjadi tenaga kasar di luar negeri. Dan tradisi melihat penderitaan warga bangsa setiap Agustusan bisa diputus. ****
Moch. Faried Cahyono adalah peneliti pada Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, pernah melakukan riset mengenai TKI/TKW di Malaysia dengan dukungan fellowship dari South East Asia Press Alliance (SEAPA) Bangkok 2003.
sumber :mfaried.wordpress.com