Inilah Indonesia
Renungan Dari Seorang Teman ...Andi Irawan
Sudah terlalu banyak kisah sedih tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bermunculan dari tahun ke tahun. Lebih kurang seminggu terakhir media cetak dan eletronika kembali gencar memberitakan tindakan penganiayaan terhadap segmen wong cilik yang sering disebut sebagai pahlawan devisa tersebut. Mungkin kita masih ingat bagaimana fenomena Nunukan setahun silam ketika ratusan ribu TKI ilegal harus melakukan eksodus dari negeri jiran Malaysia, bahkan sebagian diantara mereka telah sempat pula masuk bui dan dihukum cambuk belum lagi dua puluh lebih diantaranya yang meninggal dunia karena sakit dalam penampungan pengungsi di Nunukan. Sebelumnya kita telah mendengar pula sejumlah balada sedih lainnya, misalnya TKI yang ditangkap polisi, dipenjara, lalu baru ketahuan berbulan-bulan kemudian, menjelang atau sesudah diadili dan divonis hukuman mati. TKI, terutama perempuan (TKW) yang pulang dalam keadaa cacat fisik, menjadi gila, pulang dalam keadaan hamil atau membawa bayi tanpa suami akibat disiksa dan diperkosa.
Kezaliman tersebut ternyata tidak hanya didapat dari para majikannya di negara jiran, tetapi sebelum berangkat ke luar negeri bahkan setelah kembali pulang mereka juga ternyata menjadi korban eksploitasi dari saudara-saudara sebangsanya di tanah air. Contoh misalnya dalam masalah pembiayaan calon TKI. Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat 2 Kep Mennaker No 204/Men/1999 disebutkan bahwa pembiayaan yang dapat dibebankan kepada TKI adalah biaya dokumen jati diri tenaga kerja, tes kesehatan, transportasi lokal, akomodasi dan konsumsi serta uang jaminan sesuai dengan negara tujuan. Namun dalam prakteknya, jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh TKI tidaklah sesederhana itu, sebab setelah mereka sampai ditempat tujuan sering ditelantarkan, tidak dijemput padahal semua biaya telah diberikan untuk keperluan itu semua.
Demikian pula ketika mereka pulang ke tanah air, tidak ada pihak yang bertanggung jawab dan seringkali mereka menjadi objek pemerasan di bandara atau dalam perjalanan pulang. Begitu juga misalnya ketika mereka tidak jadi diberangkatkan meskipun telah mengeluarkan sejumlah biaya tetapi TKI sulit untuk mendapatkan uangnya kembali karena proses yang berbelit-belit.
Kita sudah 20-an tahun melakukan pengiriman TKI, berita-berita pelanggaran HAM TKI bahkan telah silih berganti didengar publik, tetapi hampir tidak ada bentuk realisasi perlindungan terhadap anak bangsa yang telah berkontribusi terhadap capital inflow sekitar 8 % tersebut. Bandingkan dengan pemerintah Filipina misalnya, yang membentuk tim investigasi terhadap kasus-kasus pelecehan seksual tenaga kerja wanita mereka.
Pemerintah memang perlu dikritik keras karena berulangnya penzaliman terhadap TKI tidak lepas dari lemahnya law enforcement terhadap tata aturan yang ada khususnya dalam proses penanganan TKI. Tampaknya proses penanganan TKI di era reformasi ini setali tiga uang dengan era sebelumnya dalam arti tetap berbelit-belit dan sarat dengan biaya transaksi yang tinggi sehingga menyebabkan para TKI mudah terjerat calo dan perusahaan pengerah TKI yang nakal. Semakin rumit prosedur dan semakin korup aparat pelayan proses penanganan TKI, semakin tinggi pula posisi tawar para calo dan perusahaan pengerah jasa TKI nakal dalam pasar gelap TKI. Jelas TKI yang tersalurkan melalui pasar gelap ini sangat rawan terhadap ancaman eskploitasi baik ketika masih di dalam negeri maupun nanti setelah bekerja di luar negeri.
Legislatif juga layak dikritik keras, ada sejumlah pertanyaan yang layak kita ajukan kepada anggota-anggota dewan kita tersebut: Pertama, Sudahkah kita membuat undang-undang yang komprehensif tentang perlindungan para TKI tersebut. Derita para wong cilik tersebut selama ini secara legal formal harus mereka tanggung sendiri. Seandainya ada uluran tangan dari pemerintah seperti pada kasus Nunukan setahun lalu lebih merupakan belas kasihan saja bukan kewajiban konstitusional negara terhadap rakyatnya.
Kedua, sudah adakah undang-undang yang melindungi TKI dari aneka tipuan, pemerasan dan kezaliman lainnya dari perusahaan jasa TKI karena kita lihat bahwa para TKI itu bisa disekap berminggu-minggu di tempat yang sangat tidak layak sebelum diberangkatkan. Kita dengar pula bahwa sering para perusahaan jasa TKI itu merasa tidak menjadi kewajibannya untuk melengkapi TKI dengan dokumen yang diperlukan.
Ketiga sudah adakah undang-undang yang memaksa pemerintah untuk memberikan pelayanan sosial kepada TKI, apakah DPR sudah menekan eksekutif untuk melakukan perjanjian bilateral dengan sejumlah negara jiran pengguna TKI kita tentang hal yang berkaitan dengan pelanggaran HAM TKI, termasuk misalnya membentuk tim investigasi terhadap kasus-kasus pelecehan seksual tenaga kerja wanita kita di luar negeri. Termasuk dalam hal ini pentingnya memberikan keluarga TKI di Indonesia hak untuk memperoleh informasi tentang TKI yang sedang mengalami kesulitan di luar negeri.
Kalau memang DPR merasa telah melakukan tugas legislatifnya mewujudkan undang-undang perlindungan TKI sudah maksimal, termasuk melakukan kontrol terhadap pengawasan pelaksanaannya baru etis dan layak DPR meminta menteri tenaga kerja untuk mundur dari jabatannya.
Saya sendiri menilai kasus-kasus tentang balada sedih TKI ini hanya akan mendapat tanggapan dari pihak penguasa termasuk legislatif hanya ketika publik masih menyorotinya. Setelah publik lupa maka solusi yang fundamental untuk mengatasi hal ini agar tidak berulang lagi juga akan hilang, dan selanjutnya akan kembali menjadi retorika politik para penguasa ketika kasus lain timbul lagi di masa mendatang.
Pragmatisme politik memaksa kita memahami bahwa para pelaku politik hanya mau mengaktualisasikan kepentingan politik dari pihak-pihak yang memiliki posisi tawar secara politik, dan sangat disayangkan para TKI kita itu bukan kelompok yang memiliki posisi tawar yang tinggi, sementara terlalu sedikit elit politik yang menggunakan landasan moral dalam aktivitas politiknya. Oleh karena itu saya kira kalau kita memang ingin melihat para TKI ini memiliki posisi tawar yang memadai dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka maka mereka harus memperjuangkannya haknya secara terorganisir tidak hanya semata-mata mengandalkan keberpihakan dan keprihatinan media terhadap nasib mereka. Para TKI itu tampaknya perlu dibantu oleh para aktivis perburuhan untuk membentuk perserikatan atau federasi TKI yang tangguh.
Sumber : http://andiirawan.com