Senyuman di Balik Pintu
Untuk kesekian kali, kakiku merambah genangan becek aspal jalan yang berlubang. Malam ini terasa bertambah dingin. Lampu jalan yang lapisan kristalnya mulai nampak kotor, menambah bias keredupan malam. Sesekali tubuhku dihantam genangan air yang terlindas roda mobil. Aku hanya diam.
Aku merasa malam ini aku dihujat malam.
Di depan pintu rumah. Aku termenung, memandang kayu rapuh pintu itu. Namun untuk kesekian kali aku bangga melihat pintu itu yang masih setia menungguku. Dan tetap setia menjaga istriku yang terbaring tak berdaya.
Tak perlu aku membangunkan istriku, seperti malam-malam sebelumnya.
Kurebahkan badanku di kursi.
"Baru pulang, Onde?" Wanita yang kucintai itu bertanya lirih. Masih saja, dia selalu menyebut nama kesayanganku.
Aku tersenyum, kucoba menghampiri dia walaupun badan ini rasanya ditelikung lelah yang luar biasa, dan enggan beranjak dari sandaran.
"Iya, Ona. Hm, tadi hujan di luar deras sekali. Sekarang sudah berhenti." Tanganku membelai rambutnya yang mulai kumal.
Dulu rambut Ona yang panjang lebat dan hitam mengkilat adalah salah satu keindahan yang memikatku.
"Bajumu basah. Ganti baju dulu, Onda. Sebentar masuk angin."
Masih saja perhatiannya membungkam kejenuhanku.
"Oya, Ona. Eh, ini obatnya diminum dulu...."
Aku melangkah ke bilik kamar. Selama sakit, istriku selalu tidur di ranjang, di balik lemari penyekat ruangan tamu. Aku sudah kehabisan kata untuk mengingatkannya agar tidur di kamar. Namun dia selalu berdalih untuk selalu pertama hadir menyambut ketika aku pulang.
***
Di depan cermin, kucoba memandang wajahku yang kuyu. Kucoba tersenyum agar aku tahu, bagaimana wajahku jika tersenyum ketika menghadapi istriku. Sebab aku yakin, senyuman adalah satu-satunya hadiah terindah yang selalu aku berikan kepada istriku.
"Ini senyuman paling menyakitkan, senyuman tanpa keikhlasan." Dengan cepat-cepat aku membuang wajahku dari cermin setelah merutuk dalam batin.
Kuambil pakaian kering yang belum sempat aku setrika. Lalu menuju ke dapur untuk memanaskan air. Sambil menunggu air untuk kopi, kakiku melangkah di atas sajadah. Ya, kupasrahkan semua beban ini di hadapan-Mu....
"Tuhan... aku tidak meminta dan tidak meratap. Tuhan... aku hanya berharap agar tatapan-Mu tidak pernah alpa dalam mengawasiku."
Tidak ada doa khusus dan tidak ada amalan khusus. Karena dalam pandanganku, doa dan amalan adalah hilangnya keikhlasan. Sebab doa dan amalan berujung suatu yang minta balasan. Padahal ketika Tuhan memberi, hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi dan tanggung jawab. Makanya aku tidak mau main-main terhadap doa dan amalan.
Suara air yang mendengung dalam didih, menyeret langkahku meninggalkan arah kiblat tepat ketika kusudahi doa. Kutuangkan gelas dan menyeduh kopi dan segelas teh hangat.
***
"Sudah diminum obatnya?" Kuangkat kepala Ona dan kurebahkan badannya untuk bersandar.
"Belum, Onde. Minta tehnya."
Teh manis hangat kuku kesukaan istriku, kuambil dan kuminumkan. Ada perasan sejuk di hati ketika aku bisa berbuat begitu. Mungkin sesejuk teh manis yang mengaliri tenggorokannya.
"Ona... aku mau ke Bapak."
"Ada keperluan apa, Onde?" Mata sayu istriku melirik wajahku. Ada kecurigaan di sudut matanya.
Ia tahu selama ini aku tidak pernah menengok Bapak – ayahku, begitu juga ia. Setelah perkawinan sakral yang tanpa restu dan tanpa didasari keikhlasan di hati mereka – terutama ayahku, kami tak pernah menengok mereka lagi. Bukannya menaruh dendam, namun kami mengurung pertengkaran yang bakal terjadi.
"Ona, maafkan Onde...." Aku menahan napas.
Matanya mencari jawaban. Tapi tak ada kalimat yang terjaring. Dan ia hanya diam dalam sunyi.
"Ona tidak harus sakit begini terus. Ona harus mendapat perawatan yang lebih baik. Onde akan pinjam uang ke Bapak."
"Onde, Ona tidak apa-apa kok. Kondisi Ona sudah cukup baik. Ona sudah bisa bangun... huk-huk...."
Istriku mencoba menyenangkanku dengan mencoba bangkit, namun dia tidak bisa menyembunyikan sakitnya sehingga batuknya mulai mendera.
"Tuh kan, Ona belum sembuh!" Kurebahkan badannya untuk berbaring kembali. Dan aku juga membaringkan tubuhku di sampingnya.
Batuknya menyeruak ke langit-langit, menampar ibaku, mengeringkan airmataku.
"Onde, tidak usahlah ke Bapak, kalau hanya untuk pinjam uang."
Aku hanya membisu. Antara keraguan dan ketakutan. Keraguaan akan penerimaan Bapak terhadap kehadiran anaknya yang hilang. Dan ketakutan akan kesehatan istriku yang akan semakin parah.
Aku memijit punggung istriku. Dan tanpa sadar, diselingi batuknya dan rencana esok pagi yang sudah tersusun di benakku, aku sudah tertidur dalam kelelahan.
***
Halaman rumah yang sudah bertahun tidak aku singgahi, masih nampak seperti dulu. Masih asri karena selalu dimanja tangan Ibu.
Sejenak, aku teringat masa kecil. Aku berayun bersama adikku di samping Bapak yang sedang membetulkan letak pot bunga kala itu.
Dengan perasaan berat, kuberanikan untuk menapak arah menuju pintu begitu lamunan silam itu buyar dari benakku. Ada satu kenangan setiap aku melangkahkan kaki di halaman rumah ini.
"Masih ingat jalan pulang?!" Suara berat yang lama pernah aku kenal, sertamerta menghentikan langkahku.
Kuarahkan pandangan secara lamat menuju arah sumber suara. Kutemukan wajah Bapak tanpa guratan kangen di wajahnya. Yang ada hanya rasa asing nan hambar. Saling tak mengenal.
"Bagaimana kabarnya, Bapak serta Ibu...?" Aku mencoba mengakrabi sepotong hati yang beku di hadapanku. Ah, dulu kami pernah demikian karib dalam hari-hari. Namun sekarang....
"Hal terlucu yang pernah aku dengar!" Lelaki itu sertamerta membuang muka.
Aku seperti mayat hidup, dicaci tanpa berani menatap, dihakimi tanpa berani membela.
"Aku butuh uang, Pak. Ona sakit."
"Semua orang butuh uang!" ujarnya menghardik. "Dan hanya orang yang tidak tahu diri saja yang berani mengemis uang."
Perkataan itu membuat aku semakin melupakan niatku, melupakan dia sebagai seorang ayah, dan melupakan aku sebagai anak yang terlahir dari darah dan dagingnya sendiri. Tapi setiap mengingat istriku yang terkapar sakit, maka urunglah niatku menentang!
"Ona sakit, Pak!" Saya masih memohon. "Saya pinjam uang tidak banyak, hanya untuk ongkos perawatan ke rumah sakit. Dan tidak lama uang itu akan saya kembalikan."
"Lebih baik mengasihani anjing daripada...."
"Pak, cukup!" Suara yang aku kenal datang menghardik dari balik pintu.
"Kembali... masuk kataku!" Orang yang sebenarnya tidak aku anggap sebagai ayah itu memaki seorang wanita paruh baya, yang tidak lain adalah ibuku.
"Dan kau... pergi dari sini! Dan jangan pernah ke sini!"
Aku menatap galau. Tiba-tiba kebencianku kembali membuncah. Ia sama sekali terlihat bukan seorang ayah bagiku. Ia iblis! Iblis yang melaknat putranya yang khilaf menentukan jalan hidupnya karena melakukan hubungan terlarang sebelum menikah dengan seorang gadis bernama Ona. Bagiku, dia terlihat seperti seorang pemerkosa yang memaksa ibu untuk melahirkan aku – ya Tuhan, maafkan aku atas kesalahan ini!
Dan aku menyalahkan diriku, kenapa aku mengabaikan perkataan istriku.
Aku melangkah kembali, menapaki rumput halaman rumah yang menyimpan kenangan.
Sesampai di ujung gang, sepatah suara menghentikan langkahku. Suara yang lamat-lamat aku kenal dan pernah kuakrabi suatu waktu dulu.
"Pak Sholeh?!"
"Den, ini titipan Ibu."
"Siapa yang kasih, Pak Sholeh?"
"Ibu. Eh, Aden tinggal di mana?"
Aku terdiam
"Wah, bilang ke Ibu, terima kasih. Akan kukembalikan secepatnya."
Aku berlalu secepatnya setelah menerima amplop yang diserahkan lelaki tua yang sudah mengabdi hampir separo hidupnya pada keluargaku. Tanpa membukanya pun aku sudah tahu apa isinya. Uang! Uang yang kuperlukan untuk keperluan perawatan Ona di rumah sakit!
"Den, Den!"
Tak kugubris. Suara itu memanggilku, dan pelan-pelan hilang di pertikungan jalan menuju jalan raya.
***
Dalam perjalanan aku mampir ke rumah seorang teman yang bertugas sebagai seorang mantri, dan bertanya berapa ongkos perawatan di rumah sakit. Namun aku mendapatkan jawaban yang tak pasti. Padahal, hanya ia satu-satunya jalan menuju akses murah berobat ke rumah sakit yang berongkos mahal.
"Wah, maaf. Kau langsung saja ke administrasi rumah sakit. Aku lagi sibuk."
Aku pulang dengan informasi nihil.
Siang menjalar sore.
Sambil menunggu reda hujan yang tiba-tiba mengguyur tak begitu lama tadi, kusempatkan untuk membeli makanan kesukaan istriku. Sambil menatap kecipak air hujan yang belum reda, aku membayangkan raut wajah istriku yang akan tersenyum manis. Sebab hari ini aku membawakan makanan kesukaannya, dan esok hari dia tidak akan di ranjang menanti aku pulang. Sebab ia akan ditemani oleh perawat di rumah sakit!
Aku bersenandung dalam hati. Dan berharap hari-hari esok akan melewati hari dengan keindahan....
Hujan belum reda.
Sore yang merambat berlalu menggapai malam. Hari ini seperti kemarin. Untuk kesekian kali, kupaksa kakiku merambah genangan becek aspal jalan yang bertambah lubangnya dari hari ke hari. Namun malam ini tidak terasa dingin. Ada semangat yang menyala yang menghangatkan badanku, meski lampu jalan masih seperti dulu dengan lapisan kristalnya mulai nampak retak, menambah kelu gelapnya malam dari hari ke hari.
Masih saja tubuhku dihantam genangan air yang terlindas roda mobil. Namun kali ini aku hanya tersenyum. Sebab ada secercah harap yang membenderang, meski berupa noktah. Tidak seperti malam-malam lalu.
***
Di depan pintu rumah. Aku tersenyum. Menyapa kayu rapuh pintu itu. Aku harap untuk kesekian kali, pintu itu dapat bercerita suatu waktu, dan membuatku bangga bahwa seseorang masih setia menungguku di rumah. Seseorang yang telah bersamaku mengarungi kehidupan yang mahaberat ini. Dan namanya Ona, istriku tercinta!
Dalam, sangat dalam harapan yang akan kulukiskan.
Di bawah lantai segelas air teh tumpah, beling pecah berhamburan bercampur darah yang memerah kental. Sesosok tubuh tergeletak kaku bersandar di ranjang. Matanya memejam, namun senyumannya tetap hadir untuk menanti aku pulang. Seperti biasa!
Pandanganku mengabur. Sekelilingku gelap.
Aku hanya bisa mengingat kalimat yang sering kucetuskan padanya yang membandel:
"Aku sudah kehabisan kata untuk mengingatkanmu, Ona. Kamu tidur saja di kamar. Jangan menungguku pulang."
Namun dia selalu berdalih untuk selalu pertama hadir menyambut ketika aku pulang....
----------------------------------------------------------------------------------------
Cerpen ini dimuat di : www.cafenovel.com
Karya di online :