PENGUSIRAN GEPENG DAN LEDAKAN KONFLIK
Pengusiran Gepeng dan Ledakan Konflik
Oleh : Moch. Faried Cahyono
Peneliti ekonomi pada Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM.
Dimuat Koran TEMPO Edisi akhir Sept 2007
Apakah yang sebetulnya terjadi di negeri ini, ketika orang miskin dan telantar diusir, sementara konstitusi negara mengharuskan melindunginya? Hal memilukan dari sudut pandang moral bernegara itu kembali dipaparkan ke publik ketika media massa memberitakan sejumlah Perda anti orang miskin dari Pemda DKI, hanya satu hari menjelang Ramadan.
Banyak ajaran (tidak hanya dari Islam) menyebut, peminggiran orang tertindas membuat Tuhan marah, dan bala akan datang kepada sebuah bangsa. Bagaimanakah ajaran agama yang fundamental itu bisa dijelaskan dengan penjelasan rasional ilmu sosial atau ekonomi?
Untuk bala yang datangnya dari alam, tentu bukan proporsi kami menjelaskannya. Tapi, bala akibat peminggiran kaum termiskin oleh negara atau oleh bagian rakyat terkaya, sudah banyak contoh yang bisa menjelaskannya. Bentuk bala itu adalah kerusuhan massa yang bisa meledak suatu kali, akibat kaum papa yang marah terprovokasi. Baiklah kita penjelasan kita sederhanaan dengan hasil riset sebagai berikut.
Mengenai sebab ledakan konflik, debat sudah terjadi antara ahli ekonomi dan ahli politik. Ahli ekonomi berpendapat, konflik adalah soal ekonomi, dalam hal ini adanya pengangguran dan kelaparan rakyat kelas bawah. Sedang ahli politik mengatakan sebab konflik adalah persoalan politik yang tidak terkelola. Namun secara umum bisa dijelaskan bahwa sebuah ledakan konflik, dintaranya berupa kerusuhan, di satu wilayah biasanya karena beberapa sebab sekaligus. Latar belakang konflik, tentulah persoalan setruktural seperti kemiskinan, keterbelakangan sosial budaya, dll. Dalam peristiwa Indonesia mutakhir 1998, krisis ekonomi memunculkan krisis politik, krisis politik berimbas pada krisis ekonomi yang merembet ke seluruh Indonesia, dan memunculkan lagi masalah politik, dan ketika konflik tidak terkelola, memunculkan kekerasan, diantaranya kerusuhan di beberapa daerah. Di beberapa kota seperti Jakarta dan Surakarta, provokasi kepada massa yang marah karena kesulitan ekonomi bisa terlaksana. Tetapi, muara konflik yang tidak terkelola dengan baik di beberapa daerah lain, berbeda bentuknya.
Salah satu hasil riset konflik Indonesia yang paling banyak disebut berkaitan dengan potensi konflik yang tak terkelola baik dan bermuara pada kerusuhan massif adalah tentang kerusuhan di kota Surakarta. Di era modern kota bekas pecahan kerajaan Mataram Islam ini sudah pernah mengalami kerusuhan sebanyak 11 (sebelas) kali. Kerusuhan terakhir terjadi pada bulan Mei 1998, mengiringi jatuhnya Presiden Suharto dari kekuasaan (M. Hari Mulyadi, Sudarmono dkk., 1999). Dari sebelas kerusuhan itu, tercatat kerusuhan yang disebabkan oleh “gesekan etnis Cina-Pribumi” mencapai 7 kali, termasuk dalam peristiwa Mei 1998. Kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu kerusuhan paling hebat, dan intensitasnya lebih besar daripada kerusuhan Mei 1998 yang terjadi di Jakarta. Yang menjadi pertanyaan para ahli adalah mengapa kerusuhan itu seperti “bersiklus” dan terulang kembali dengan tanpa bisa dicegah atau dihindari.
Jawaban atas pertanyaan tersebut, barangkali bisa dijelaskan dengan paparan penjelasan teoritis dan hasil riset sebagai berikut. Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi di tingkat pusat yang terjadi sejak 1996, diikuti dengan krisis politik pada 1998. Lalu runtuhlah rejim otoriter Suharto. Mengikuti logika Zartman (Samarasinghe et.a., 1999), runtuhnya kekuasaan otoriter di tingkat pusat, biasanya diikuti dengan lenyapnya kontrol di tingkat bawah. Aparat lepas kendali dan bahkan di beberapa tempat terlibat konflik. Maka, konflik kekerasan terjadi di berbagai wilayah Indonesia, dan berbeda dengan di Yogyakarta dimana warga dan para pemimpinnya berhasil mengelola konflik, di Surakarta konflik gagal dikelola, bermuara pada kerusuhan.
Dampak, konflik Mei 1998 terberat di pulau Jawa memang terjadi di Surakarta. Dalam kerusuhan Mei 1998 itu, korban tewas, maaf, memang “hanya” 3 orang saja. 1 tewas saat kejadian, dan 2 orang menyusul beberapa kemudian. Tetapi kerugian ekonomi amat besar, mencapai Rp 457.534.945.000. Dari jumlah itu sebagian besar, Rp 189.637.5000.000, diderita para pengusaha dimana plasa dan supermarketnya dibakar dan dijarah massa (M. Hadi Mulyadi, Sudarmono dkk.ibid). Tentu dampak lain yang tidak bersifat fisik, berupa trauma psikologis, hilangnya rasa aman, runtuhnya kepercayaan pada negara dan anta warga, adalah soal serius lain yang tidak boleh dilupakan.
Dari peristiwa Mei 1998 itu, paling tidak ada dua soal pokok yang harus dicatat. Bahwa peristiwa tersebut hanyalah imbas dari konflik di pemerintah pusat (Jakarta) yang tidak terkelola baik, dan menjadikan daerah-daerah sebagai korban. Detil-detil menarik 1998, sebetulnya bisa jadi pelajaran. Misalnya, terusirnya para preman Ambon pada 1999 dari Jakarta, ternyata menyumbang secara signifikan atas terjadinya konflik berdarah dan massif serta berlarut di Ambon. Kedua, soal rakyat yang kesulitan ekonomi, menjadi menjadi pemicu ledakan konflik (kerusuhan). Karenanya, sepanjang selalu ada konflik di tingkat pusat yang tidak terkelola, dan sepanjang rakyat kesulitan ekonomi pada saat konflik itu, sementara pola konflik merembes ke bawah selalu terjadi, maka peristiwa rusuh seperti terjadi di Surakarta dan kota lain, akan selalu ada, dan sepertinya membentuk sebuah siklus.
Studi Varsney, Panggabean dan Tadjudin (Varsney et.al., 2004) menunjukkan bahwa dampak konflik tidak sama antar satu daerah dengan daerah lain. Ada daerah mengalami kerusakan parah, ada yang tidak begitu parah, bahkan banyak daerah aman saja. Dampak konflik di dua kota yang secara kultural nampak sama pun, bisa berbeda seperti Yogyakarta dan Suraarta (Cahyono, 2007). Ini karena ada perbedaan kemampuan mengelola konflik pada warga dan para pemimpinnya.
Apakah hubungan seluruh penjelasan teoritis di atas dengan akan terusirnya para gepeng dan pengemis dari Jakarta? Tentu saja ada. Apa yang akan terjadi di Jakarta tahun depan dengan diusirnya gepeng dan orang miskin, akan berdampak ke daerah secara langsung dengan mengalirnya orang kere ke daerah. Jika Pemda di luar DKI melakukan kebodohan dan kejahatan yang sama, maka mereka membuat Perda sejenis. Langkah lucu namun menyedihkan itu mungkin akan ditempuh kalau Pemda-pemda itu tidak mau repot atau tidak tahu harus berbuat apa.
Tentu saja ada jalan untuk mensolusi persoalan ini, dengan kebijakan negara yang benar dan tepat. Tapi, bagaimana agar soal pengentasan orang miskin ini tidak jadi ceramah atau wacana saja? Beberapa hal berikut layak untuk diperhatikan:
Pertama, Pemerintah Pusat dan Pemda harus memahami bahwa Indonesia adalah satu tubuh. Ibaratnya, jika Kepala (Pusat/Jakarta) sakit kepala, maka bagian tubuh yang lain (Daerah-daerah) juga akan linu-linu. Karena itu kebijakan negara atau daerah tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong, dan hanya mementingkan kepentingan Pusat atau Daerah saja.
Kedua, Jakarta adalah ibukota negeri. Maka kebijaan yang dihasilkan Jakarta, akan berdampak ke daerah lain, meskipun itu dihasilkan Pemda atau Gubernur. Karena itu koordinasi untuk mengentaskan orang miskin, sebaiknya diselesaikan dalam konteks seluruh negara, dengan terlibatan Pemda-pemda. Dalam hal ini mestinya keluar larangan resmi pemerintah Pusat pada Pemda-Pemda atas Perda anti orang miskin sebagaimana sudah dikeluarkan Pemda DKI. Dengan begitu, maka pengentasan orang miskin adalah masalah bersama.
Ketiga,, karena uang beredar di Jakarta amat besar (diatas 70 persen) adalah penyebab datangnya manusia dari semua wilayah Indonesia, maka persolan menciptakan pola pemerataan capital atau dana negara harus dibicarakan dengan sadar dan tidak hanya dibicarakan ketika ada soal politik, seperti ada pemberontakan oleh daerah.
Banyak daerah tidak terima wilayahnya diekspoitasi Jakarta dan hanya mendapat remah-remah. Karena itu, konsep yang matang soal bagi hasil yang adil antar Pusat dan Daerah, juga juklak bagi orang daerah untuk menggunakan dana yang didapat dari eksploitasi sumberdaya alam itu dengan benar, akan ikut menentukan terselesaikannya persoalan orang miskin.
Selain eksploitasi itu, bagi daerah penghasil pajak atau cukai yang besar seperti Kediri dan Kudus tentu layak mendapat bagian dari trilyunan rupiah cukai yang mereka setor ke Jakarta. Pangsa yang didapat akan dapatdigunakan untuk menciptakan lapangan kerja baru di sektor produksi yang lain.
Keempat, karena orang miskin yang ada di jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lain berasal dari sektor pertanian, maka upaya mengembalikan mereka ke sektor pertanian harus dilakuan. Cara-cara praktis yang sudah banyak diajukan oleh para ahli pertanian, diantaranya adalah dengan mengenalkan kembali para petani dengan teknologi pertanian organik yang ramah lingkungan dan murah. Sehingga, semangat untuk kembali menjadi petani benar-benar nyata. Sektor perkebunan juga harus digarap dengan benar agar mampu menyerap tenaga kerja sehingga warga kita tidak harus pergi ke Malaysia menjadi TKI. Sementara hutan-hutan kita yang gundul, tentu saja perlu dipulihkan, dan dengan pendekatan yang tepat, bukan tidak mungkin sektor kehutanan juga akan menyerap tenaga kerja.
Kelima, peran pengusaha khususnya pengusaha kelas menengah bawah, amat penting. Mereka tidak boleh jadi sapi perahan para politisi lokal. Karena itu harus ada juklak dengan pengawasan yang kuat agar mereka terfasilitasi dengan baik. Dalam hal ini kita layak meniru Cina dan Korea, dimana birokrasinya memberikan apresiasi kepada pengusaha yang menyediakan lapangan kerja bagi para penganggur. Bentuk apresiasi adalah pengurangan pajak dan tambahan fasilitas lain. Kita di Indonesia sudah melakukan langkah keliru dengan birokrasi yang membebani para pengusaha menengah kecil, dengan pajak yang mencekik juga pungli. Fasilitas yang diberikan di Cina dan Korea, secara langsung akan menyebabkan pengusaha senang berbisnis, pada gilirannya akan lebih banyak menyerap tenaga kerja, dan kemudian akan berakibat langsung pada berkurangnya orang miskin di jalan-jalan. *****